#CERPEN ANAK GUNDUKAN TANAH
Langkah kaki ku telah
mantap menapakkannya ke sebuah kumpulan gundukan tanah yang didalamnya berisi
jasad. Ku melangkah dengan pasti, mencari dan mencari. Batu nisan itu
terpampang jelas nama seorang yang sangat aku cinta. Seorang yang telah
menemaniku selama ini. Seorang yang ada saat adiknya membutuhkannya. Dialah
kakak, kini ia telah pergi meninggalkan panggung sandiwara. Menuju ke dunia
sesungguhnya, dunia yang kekal.
Mataku sudah lama
memandangi batu nisan itu. Ku duduk disamping gundukan tanah yang telah menjadi
tempat pertemuan terakhirku dengan kakak. Ku panjatkan doa untuknya dan tanpa
sadar air mata ini jatuh juga. Ku tatap dalam-dalam nisan tersebut. Hati ini
masih belum percaya ia telah meninggalkanku selamanya. Aku masih ingat saat ia
menghembuskan nafas terakhirnya dipangkuanku. Peristiwa naas itu telah menjadi
trauma tersendiri bagiku. Kini semenjak
kepergiannya aku bukan aku. Aku telah berubah menjadi sosok yang pemurung dan
bertempramen tinggi. Sampai saat ini pun banyak orang bilang bahwa aku gila.
Bukan hanya orang lain orang tuaku pun menganggapku mengalami gangguan
kejiwaan. Ironis memang, aku bukan gila! Hanya saja semenjak kepergiaannya
hidupku tak berarti, bagian tubuh ini seakan tak utuh lagi.
Tak kusadari bahwa
ratusan tetesan air jatuh dari angkasa telah menyelimutiku. Basah, namun aku
tak mempedulikannya. Ini hanya air bukan batu, juga bukan api. Aku tak pernah
lelah untuk menjenguk kakak, walau tak sedikitpun aku bertemu dengannya,
sosoknya, bahkan utuk suaranya pun tak bisa. aku beranjak dari sana, ku
langkahkan kakiku menjauhi tempat kakak. Berat sekali meninggalkannya sendiri.
Aku juga punya tempat sama seperti kakak, bedanya didalamnya seakan ia terkunci
dan tak bisa pergi. Aku hanya berjalan, tak berani aku menaiki kendaraan, karena
itu akan membuatku ingat akan kejadian naas. Sepanjang jalan aku hanya ditemani
ratusan bahkan ribuan tetesan air. Disepanjang jalan pula aku tak berani
mendongakkan kepalaku sekedar untuk melihat orang-orang. Karena aku tahu mereka
hanya memandangiku dengan tatapan yang menyeramkan. Mereka menganggapku gila,
karena ditinggal sosok seorang kakak yang selalu ada untuk adiknya, dalam
keadaan apapun.
Dipersimpangan jalan
kulihat banyak kaki menghadangku. Kaki-kaki itu kecil namun banyak. Mereka
berteriak-teriak.
“orang gila.....orang
gila...orang gila” teriak si empunya kaki-kaki kecil itu.
“aku tidak gilaaaaaa”
aku teriak histeris, aku seperti seekor singa yang kelaparan. Aku kejar mereka.
Mereka ketakutan. Semakin mereka merasakanya, merasakan ketakutan yang luar
biasa maka aku semakin puas. Di mata mereka tampak ketakutan terhadap sosok
seorang anak remaja bernama indah. Ya itulah namaku. Setidaknya aku masih tahu
siapa aku, nama orang tua ku, dan alamatku. Si empunya kaki-kaki kecil itu
telah menghilang, entah karena mereka yang terlalu cepat atau aku yang berlari
seperti siput. Langkah kakiku terhenti ke sebuah rumah kecil, mungil dan
nyaman. Tanganku mulai meraih gagang pintu yang telah menguning dimakan usia. Kubuka
pintu tua yang sedikit menimbulkan bunyi deritan pintu. Kakiku melangkah
mengendap-endap. Takut seorang perempuan paruh baya itu memarahiku. Dialah
ibuku, dia tak suka aku keluar rumah, karena dia tahu bahwa banyak orang akan
membuatku histeris seperti kejadian dengan kaki kecil tadi. Namun usahaku
mengendap-endap sia-sia. Aku tertangkap basah oleh perempuan paruh baya itu.
“indahhhhhh!” panggil sang ibu dengan nada yang bisa dibilang marah.
“iii iyy.... ii.. yyy....a aaaaa... iibb ibb...ibuuu” kataku terbata-bata.
“sudah ibu bilaangkan!”
Lidahku kelu, aku tak
bisa berkata apa-apa. aku terlalu takut untuk mengatakannya. Aku berlari menuju
ruangan kecil yang telah menjadi tempat teristimewa setelah rumah kakak. Ibu
tak mengejarku mungkin ia sudah hafal dengan sikapku ini. Walau kami berkumpul
bersama baru saja, setelah kakak tiada. Ku tutup pintu rapat-rapat, ku rebahkan
tubuh ini ke kasur yang sebenarnya tak bisa disebut sebagai kasur. Ia terlalu
keras, ia sudah tak empuk lagi. Aku tertidur pulas sekali sampai-sampai tak
terasa hari sudah gelap. Pikiranku masih belum bisa melupakan kejadian waktu
itu. Aku merasa bersalah karena ulahku kakak pergi tuk selamanya. bayang-bayang
kakak selalu terngiang diotakku. Aku tersadar dari lamunan konyolku. Aku tak
ingin melakukan kegiatan malam ini. Aku tak mandi, aku malah pergi tidur lagi.
Cahaya matahari telah
memasuki celah-celah kamarku. Aku terbangun, aku sudah 2 minggu ini tak
sekolah. Bisa saja aku di drop out dari sekolah karena terlalu lama membolos.
Namun, entah kenapa pihak sekolah masih mempertahankanku. Dalam kondisi seperti
ini aku sudah tak bisa lagi konsentrasi belajar, di otakku hanya bayang-bayang
kakak. Rasa bersalah itu masih tertancap dihatiku, bahkan sudah mendarah
daging. Tak ada waktu yang terlewat, setiap hari aku selalu mengunjungi kakak
di rumah terakhirnya. Setiap kali aku keluar rumah aku selalu menutupi wajah
indahku. Sebelum kakak pergi hampir semua teman laki-lakiku tergila-gila
padaku. Namun, setelah itu semuanya berubah. Tak ada yang peduli padaku, hanya
dua orang sahabatku lah yang setia menemaniku.
Waktu aku berkunjung,
mereka menyusulku. Entah ada angin apa mereka (dua sahabatku) menjemputku,
setelah satu minggu mereka tak muncul. Lagi-lagi aku menangisi kepergian kakak,
mereka hanya memandangiku, tatapan kekhawatiran. Elena dan Adi, dia lah
sahabatku. Mereka mendekatiku, aku berdiri dan memeluk mereka. Mereka
memnyambutnya dengan pelukan kasih sayang.
“hentikan semua ini ndah”
kata adi penuh perhatian. Hanya mereka berdualah yang masih menganggapku waras.
Aku tersenyum simpul
memandangi mereka satu per satu. Mereka berharap aku kembali. Namun, sepertinya
aku tak bisa. aku berjalan menuju sebuah danau kecil dekat pemakaman. Mereka
mengikutiku.
“aku tak yakin bisa.
aku telah membunuh kakakku sendiri” aku menghentikan langkahku, tatapan mataku
kosong.
“kamu pasti bisa ndah.
Kita akan bantu kamu” kata ellen menghadapkan tubuhku ke arahnya.
“iya ndah, kamu pasti
bisa” tambah adi penuh harap.
Aku hanya terdiam,
lagi-lagi air mata ini tak bisa ku bendung sehingga tumpah begitu saja. ellen
mengusap air mataku. Kini adi memegang tanganku, ia menggenggamnya erat, ia
menatapku tajam. Aku tak bisa lama-lama saling beradu mata dengannya.
“ndah percayalah, kalau
kamu pasti bisa keluar dari semua ini” kata adi meyakinkanku.
“tapi....” kata-kataku
terpotong oleh ellen.
“kamu pasti bisa, asal
kamu mau. Indah aku dan adi akan selalu ada buat kamu” kata-kata ellen yang
berhasil memotong perkataanku.
“tidak llen, di aku
udah membunuh kakak. Aku ini orang terjahat” sahutku.
“indah!
Ini kecelakaan! bagaimana dengan para teroris, dia membunuh tak hanya
satu tapi banyak nadh! Bukankah mereka lebih kejam? ! hah!” kata-kata
adi yang mulai
tersulut emosi karena keegoisanku.
Aku berlari
meninggalkan mereka. Aku kembali ke makam kakak. Mereka tak mengikutiku, tak
apa aku memang sedang ingin sendiri. Aku tertidur di atas gundukan tanah yang
tak lain adalah makam kakakku.
“kakak?
Kakaaaaaaaaaaakkkk!” aku melihat kakak tersenyum padaku. Senyumannya dingin,
wajahnya nampak putih pucat.
“kenapa kakak pergi?
Kenapa kaak! Kenapa!” nada suaraku meninggi, seakan emosi telah menguasai
jiwaku. Aku mendekatinya, ia tak berpaling ia tetap menatap ku dan tak
mengucapkan sepatah katapun. Semakin dekat dan dia menghilang.
“mbakk...mbakk” suara
itu telah menyadarkanku dari mimpi itu. aku terbangun tanpa kusadari tanganku telah kotor dengan tanah.
“mbak tidak
apa-apa?”tanya seorang bapak-bapak, mungkin dia adalah penjaga kuburan ini. aku
membalas dengan senyuman dan bapak tadi mengerti maksudku.
Aku
berdiri dan segera kulangkahkan dua kaki ini meninggalkan makam kakak.
Di pintu masuk makam aku melihat ada 5 orang berdiri menghadangku.
Mereka
menatapku tajam, aku tak kuasa melihatnya. Aku memalingkan wajahku,
namun
mereka tetap tak menghilang. Aku merasa mereka bukanlah makhluk yang
sama
dengan ku, lalu apa? siapa dia?. mereka memakai pakaian yang aneh,
dengan wajah
pucat, dan bau yang tak sedap mereka masih saja memandangku dengan
tatapan
tajam. Akhirnya ku pacu langkahku meninggalkan mereka. Hanya saja
usahaku
sia-sia, kakiku terasa berat saat diriku melewati mereka. Aku berdiri
membelakangi mereka, tepat dibelakangnya. Ku tolehkan kepalaku, melihat
mereka
perlahan lahan dan mereka telah lenyap entah kemana. Aku merasakan bahwa
kedua
kaki ini dapat berfungsi kembali. aku berlari, dengan mulut yang tak
bisa diam. Aku berjuang melewati kerumunan orang-orang yang bagiku ia
adalah pemangsa yang bernafsu ingin menerkamku dan akhirnya aku
selamat.
hari
demi hari kulewati, dan kondisiku semakin parah. Aku tambah histeris
tiap aku melihat keramaian. Ibu merasa khawatir padaku,
sampai-sampai beliau memanggil psikolog untuk menyembuhkanku. Namun
sia-sia,
tak ada satupun orang yang bisa mengembalikanku seperti sedia kala. Ibu
pasrah,
ia sudah tak kuat lagi menghadapiku.
“maaf bu, saya tidak bisa” hanya itu yang terlontar
dari setiap psikolog yang datang, sudah sekitar 3 psikolog yang menanganiku,
dan semua kembali dengan tangan kosong.
Aku ini masih sadar, aku tidak gila. Aku masih bisa
berkomunikasi dengan teman-temanku. Namun semua ini berubah, aku semakin tak
bisa dikendalikan. Bahkan ibuku, aku sendiri saja tak bisa. saat ini aku hanya
terkurung di sebuah ruangan sempit berukuran 2x3 meter. Dengan kurungan itu aku
bertambah buas, bisa saja orang yang masuk keruanganku ini, tubuhnya mungkin
penuh dengan luka bekas cakaranku.
Kini semakin lama tubuhku semakin lemah, untuk
menggerakan tangan saja sulit.
Satu tahun berlalu, 5 tahun berlalu kini aku hanya
tinggal sebuah nama.
Komentar
Posting Komentar
silahkan tulis pendapatmu :D